MIGRASI BELIA

Dua minggu sebelum lebaran kemarin sepertinya aku baru saja memegang sebuah handycam untuk melakukan wawancara dengan salah seorang buruh migran yang ada dipringapus, semarang. Wanita itu terlihat masih sangat muda, sangat segar, dan sangat energik. Dibalik penglihatan itu ternyata tersimpan berbagai keluhan tentang dunia perburuhan yang dia alami selama setahun ini, mulai dari target yang berlebihan hingga membutuhkan waktu lembur, lebih ironis lagi ketika dia mengatakan “ya waktu lebur itu ngga’ di bayar mas, lha kan kita ngga’ bisa nyukupi target pas waktu jam kerja, makanya di lembur”, secara keseluruhan pemenuhan hak ekonomi social mereka memang kurang terjamin sebagai seorang buruh, apa lagi beberapa diantara mereka masih berstatus buruh kontrak, bukan sebagi karyawan tetap. Memang sedikit sekali yang mengetahui permasalahan buruh migran seperti ini, termasuk saya.

Ironis memang, ketika kita mendengar cerita-cerita pekerja kita, entah didalam negeri atau di luar negeri. Lebih ironis lagi ketika saya pulang dari Semarang menuju kampung halaman saya di Ponorogo, saya mengetahui seorang wanita belia lulusan SMK yang baru berusia 18 tahun harus rela meninggalkan rumah hanya untuk bekerja menjadi buruh migran konveksi di Bandung. Merelakan untuk tidak mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi, lebih tergugah hatinya untuk merelakan kakak tercintanya saja yang kuliah, dia rela menunggu kakaknya selesai mendapatkan gelar sarjananya dulu baru dia mau untuk kuliah, konyolnya kakaknya tidak tau kapan lulus. Dia lebih rela mengubur cita-citanya menjadi perawat, demi kebutuhan kakaknya yang kuliah, demi ibunya yang kuliah sebagai syarat PNS, demi membantu menutupi hutang-hutang keluarga. Kondisinya semakin buruk lagi ketika di rumah kecil tempat tinggalnya, dia harus meninggalkan ibunya hidup sendiri dengan adiknya yang baru duduk di bangku kelas 3 SD.

Dan fakta yang saya dapatkan upah kerja ayah dari gadis belia ini yang juga bekerja di pabrik konveksi di kota bandung, sebenarnya bisa dikatakan tidak mencukupi untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya, secara tidak langsung upah hasil jerih payah sang  istri yang berprofesi ganda sebagai guru TK, BPD, dan fasilitator desa dapat menutupi sedikit kekurangan yang ada. Apalagi ketika kakaknya tidak mendapat kiriman untuk kehidupan perkuliahannya di luar kota sana, dengan itu semua keinginan belia ini untuk melanjutkan cita-citanya akan terwujud. Sayangnya semua itu belum terwujud secara maksimal, kakaknya masih saja bergantung pada kiriman orang tuanya.

Semoga semua kondisi itu semakin membaik, semoga belia itu tegar menghadapi kehidupan ini, semoga pula kakaknya mendapatkan perkerjaan tetap sembari melanjutkan kuliahnya, semoga ada cahaya yang menerangi keluarga tersebut, semoga Tuhan memberikan rencana terbaiknya unutk keluarga tersebut, AMIN.